Kejahatan korporasi di sejumlah perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) sudah nyata.
Kasus kejahatan Korporasi ini sudah tidak asing lagi bahkan selama ini sudah bukan rahasia lagi. Namun selama ini tetap dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas dari pihak yang berwenang.
Pertanyaannya, Kenapa dibiarkan?
Bahkan baru-baru ini RIMBUN dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotim sudah lantang menyebutkan ada 17 PBS yang beraktivitas di Bumi Habaring Hurung ini yang tidak mengantongi Izin Hak Guna Usaha (HGU).
Mereka (PBS) sudah puluhan tahun menguras kekayaan daerah ini, dengan cara melawan hukum, tidak mengindahkan aturan dan undang-undang yang berlaku, sebagai panglima di negara ini.
Dari 17 PBS yang disebutkan itu, secara terang-terangan melanggar dan menabrak hukum dan aturan sebagai panglima tadi, namun penegak hukum diwilayah diduga kuat seperti ‘Sapi ompong’.
Tidak punya kemampuan untuk bertindak tegas memberangus kejahatan yang nyata-nyata ada didepan mata, baik dimata orang awam maupun dimata penegak hukum itu sendiri yang mengerti dengan hukum.
Padahal aturan dan undang-undangnya sudah jelas, untuk menjerat pelaku kejahatan itu, Namun nampaknya aturan dan undang-undang yang dibuat pemerintah itu hanya dijadikan macan kertas saja, tidak berarti apa-apa bagi pelaku kejahatan ini, Kenapa ya…?
Apakah perusahaan ini kebal hukum, apakah ada orang kuat atau oligarki yang ikut membekingi perusahaan ini, apakah ada sambo-sambonya juga dibalik perusahaan nakal ini, sehingga pemerintah setempat tidak bisa berkutik untuk bertindak tegas untuk memberangusnya.
Dan tidak berkutik untuk menyeret oknum-oknum yang terlibat dalam praktek kejahatan luar biasa yang diduga kuat terorganisir dan terkesan kebal hukum ini.
Untuk diketahui dengan kejahatan PBS ini daerah diperkirakan merugi sekitar Rp500 miliar lebih pertahunnya, lantaran tidak bisa mengambil Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut.
Sementara PBS tersebut hingga saat ini tenang-tenang saja, tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa, tanpa menghiraukan aturan dan undang-undang yang semestinya harus ditaati.
Penegakan hukum dibidang kehutanan terkesan lemah, (Letoy) ketika hutan disulap menjadi perkebunan kelapa sawit oleh pengusaha besar yang berinvestasi di negeri ini.
Yang jelas-jelas terbukti menabrak aturan dan ketentuan serta amanah Undang-undang sebagai produk hukum yang dapat memberikan pemenuhan keadilan bagi rakyat.
Sejatinya hukum di negeri ini sebagai panglima yang wajib kita taati semua, tanpa pandang bulu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kejahatan-kejahatan terkait dengan Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak investor perkebunan kelapa sawit sudah luar biasa di negeri ini, namun hukum terkesan tidak berjalan sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang.
Faktanya sudah sangat jelas dan sudah dibuktikan ketika hasil audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) Republik Indonesia selesai melaksanakan audit pada tahun 2019 yang silam, menjelaskan kepada public melalui media bahwa banyak PBS Sawit salahi aturan dan ketentuan.
Waktu itu pihak BPK mengusulkan supaya kepolisian dan kejaksaan dilibatkan untuk mengusut dugaan tindak pidana yang dilakukan PBS yang terbukti nakal ini.
Beberapa pelanggaran kejahatan itu di antaranya menggarap diluar perizinan yang diberikan pemerintah, ada yang menggarap hutan yang masuk hutan lindung (HL), hutan produksi (HP) dan lain-lain serta tidak melaksanakan kewajibannya seperti membangun plasma untuk rakyat.
Padahal rata-rata PBS yang melakukan pelanggaran ini sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia, ternyata masih banyak yang menyalahi ketentuan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI telah melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas Perizinan.
Sertifikasi dan Implementasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit yang berkelanjutan. Serta Kesesuaiannya dengan kebijakan dan ketentuan internasional.
Penulis mencoba mengutif hal yang disampaikan oleh Anggota BPK RI Rizal Djalil, usai menggelar rapat terbatas dengan sejumlah kementerian dan stakeholder terkait di kantornya, Jumat (23/8/2019) yang silam untuk menyegarkan kembali ingatan kita semua.
“Hari ini, BPK telah menyelesaikan dan telah menyerahkan hasil audit tentang, perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Semua provinsi dan kabupaten yang ada kelapa sawit. Pada saat ini, penerimaan negara dari kelapa sawit sudah melebihi migas,” ujar Anggota BPK RI Rizal Djalil, usai menggelar rapat terbatas dengan sejumlah kementerian dan stakeholder terkait di kantornya, Jumat (23/8/2019). Dikutif dari media Jurnal Kalteng.
Menurutnya, kelapa sawit merupakan sumber devisa, penerimaan negara yang signifikan.
Dia sudah melampaui migas. Namun dalam proses pelaksanaan perkebunan yang mulai tahun delapan puluhan sampai sekarang itu, bermacam-macam persoalan yang harus kita selesaikan.
“Pertama yang terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang belum dimiliki. Yang kedua, yang terkait plasma. Yang harusnya dibangun, belum dibuat. Yang ketiga, terkait dengan tumpang tindihnya usaha perkebunan, dengan pertambangan. Keempat ada beberapa perkebunan yang juga menggarap kawasan di luar kawasan yang seharusnya dia budidayakan. Atau usahakan. Jadi keluar dari izin yang diberikan Pemerintah,” beber Rizal.
Selain itu kata dia, juga ada perusahaan yang melaksanakan perkebunan itu di atas hutan konservasi, Hutan lindung, dan bahkan taman nasional.
“Itulah persoalan yang muncul. Saya tidak mau menyebut satu persatu perusahaan itu. Perusahaan ini Terdaftar di bursa. Oleh karena itu, kami sudah membuat rekomendasi kepada pemerintah,” jelas Rizal.
Hasil audit kata dia, tadi sudah diserahkan kepada pemerintah. Dan mungkin akan dibahas di level pemerintah.
“Saya mengusulkan supaya melibatkan Kapolri dan Kejaksaan Agung, karena ada dalam Undang-Undang kehutanan dan Undang-Undang perkebunan yang terkait pidana,” pintanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, BPK berharap penyelesaian dan tindak lanjut audit BPK tetap menjamin kepastian penerimaan negara.
“Yang kedua, kalau pengusaha itu sudah mengikuti semua ketentuan, jangan lagi nanti ada persoalan lain dibelakangan,” jelasnya lagi.
Disinggung berapa luas lahan? Rizal enggan untuk membeberkannya. Namun yang jelas kata dia sangat luas.
“Ada di Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalteng, Kalbar dan sebagainya. Semua pemain besar. Jumlahnya itu, jutaan hektar,” pungkasnya.
Sekedar saran dan pendapat sudah saatnyalah pihak penegak hukum atau pihak terkait di Kotim ini untuk segera bangun dari mimpi disiang bolongnya.
Kapan lagi bertindak tegas, jika tidak mampu minta bantuan provinsi dan pusat jika tidak mampu juga ayo kita sama sama minta kepada Yang Maha Kuasa, agar mendapat keadilan dengan doa semoga pihak PBS sadar dengan kejahatannya selama ini.
Jika tidak mendapat keadilan juga di dunia ini, sampai ketemu nanti di pengadilan akhirat.
Seperti kita ketahui bersama ditengah kondisi keuangan daerah Kabupaten Kotawaringi Timur yang terpuruk saat ini, kenapa kebocoran PAD BPHTB dibiarkan merajalela, tidak segera ditindak tegas.
Jika kebocoran PAD BPHTB ini bisa dihentikan dan bisa menarik kerugian daerah yang luar biasa ditelan Oknum-oknum yang rakus, Insya Allah Kotim ini bisa sejahtera, pembangunan daerah akan terlaksana dengan lancar, demikian
Penulis Opini : Misnato (Petualang Jurnalis)