Usaha di sektor Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah di mulai sekitar tahun 1994, pertama di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) oleh PT.Indo Turba.
Kemudian setelah itu mulai bermuculan berbagai Perusahaan Besar swasta (PBS) Perkebunan Kelapa Sawit merambah ke kotawaringin Timur, kemudian kekabupaten lainnya di Kalimantan Tengah, didorong lagi pada masa reformasi 1998.
Hal ini disampaikan oleh Muhammad Gumarang, selaku pemerhati hukum dan politik di Kalimantan Tengah.
Menurut Gumarang, dengan semangat reformasi tersebut melahirkan otonomi daerah pada tahun 2004, sehingga pemerintahan yang kental dengan sentralistik menjadi desentralistik, termasuk urusan usaha disektor perkebunan kelapa sawit lebih mudah.
Pada saat itu ijin usaha perkebunan, untuk bisa melakukan kegitan usaha perkebunan cukup dengan memiliki ijin lokasi dari Bupati atau Walikota tanpa harus pelepasan kawasan hutan.
Sedangkan dasar pemberian ijin lokasi kepada perusahaan Perkebunanan Sawit tentang lokasinya berdasarkan PERDA No.5 tahun 1993 tentang RTRWP Kalimantan Tengah.
Kemudian kata Gumarang, terbit Surat Keputusan Gubenur Kalimantan Tengah tahun 1999 tentang Peta Paduserasi dan kemudian dikuatkan dengan PERDA No.5 tahun 1999 tentang RTRWP Kalimantan Tengah.
Lalu Surat Kementerian Kehutanan tahun 2000, terhadap kawasan eks Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang tidak produktif lagi atau tidak aktif dan/atau lahan tidak memiliki tegakan kayu bernilai ekonomis lagi.
Bahkan ada yang hanya semak belukar saja kondisinya dilapangan, sehingga dasar itulah bisa diperuntukan untuk keperluan lokasi perkebunan dan tidak memerlukan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Dikuatkan lagi dengan PERDA No.8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalimatan Tengah sehingga lahan eks HPH yang tidak produktif atau tidak aktif dalam peta RTRWP Kalimantan Tengah menjadi status lahan Areal Penggunaan lain (APL).
Mengacu pada surat kementerian kehutanan tahun 2000 dan Perda nomor 8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng.
PBS Perkebunan Kelapa Sawit berkembang maupun perkebunan kelapa sawit petani di Kalteng sampai sekarang berkembang pesat PBS hingga tahun 2021 dengan luas sekitar 2.049.790 ha termasuk Plasma dan perkebunan sawit milik petani dan dengan tingkat pertumbuhan (growht) sawit terbesar di Indonesia 17,14%.
Tidak bisa dipungkiri sektor investasi perkebunan kelapa sawit di Kalteng penyokong terbesar pertumbuhan ekonomi. Produk Domistik Bruto (PDB), penyumbang Pajak terbesar dan lainnya.
Sehingga memperbesar perolehan Dana Bagi Hasil (DBH), setiap tahun anggaran atau APBD Kalteng sekalipun kondisi krisis ekonomi akibat wabah covid-19, sektor perkebunan sawit mampu membantu perekonomian Kalteng ditengah krisis ekonomi dan kesehatan secara significant akibat pandemi cavid- 19.
Begitu pula dalam hal penyerapan tenaga kerja sektor perkebunan kelapa sawit sangat berperan, karena menyerap tenaga kerja tersebesar dari sektor lain di Kalteng dengan jumlah ratusan ribu tenaga kerja.
Selain itu dengan adanya investasi Perkebunan Sawit di Kalteng membuka peluang usaha bagi pengusaha maupun pedagang local, akibat multiplyer efek yg ditimbulkan adanya investasi perkebunan kelapa sawit tersebut.
Begitu pula peduli dan impati sosial keberadaan perkebunanan kelapa sawit di Kalteng setiap PBS dengan menyisihkan dananya berupa Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membantu masyarakat di sekitar kebun.
Baik di bidang pendidikan, adat budaya, kesehatan, usaha pertanian masyarakat dan sebagainya, bahkan termasuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana alam seperti banjir, bahkan diluar dana CSR yang mereka gunakan.
Kalteng dalam kondisi sekarang dan kedepan memiliki nilai significant terhadap kemajuan atau pertumbuhan ekonomi Kalteng, apa lagi Perkebunan Kelapa Sawit Kalteng nantinya didukung dengan kebijakan pemerintah dijadikan berbasis Industri Hilir dengan ditopang sektor lainnya seperti pertanian dan perdagangan.
Perkebunan Kelapa sawit sudah merupakan aset daerah yang strategis dalam mengelola kemajuan ekonomi dan pembangunan Kalteng.
Namun pada tahun 2006, terjadi konplik antara Pemerintah Daerah Kalteng Jaman Gubenur Agustin Teras Narang dengan Kementerian Kehutanan jaman MS Kaban.
Menteri Kehutanan menyatakan surat mereka tahun 2000 tidak berlaku dan/atau tidak sah, kemudian juga Perda nomor 8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng tidak bisa menjadi dasar untuk menerbitkan ijin lokasi dan kegiatan opersional perkebunan kelapa sawit.
Hal itu harus kembali mengacu kepada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang arti juga harus mendapat pelepasan dari Meteri Kehutanan.
Akibat perubahan sepihak oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutansn tersebut Daerah dan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit di rugikan, karena banyak lokasi perkebunan sawit menjadi kawasan hutan (HP) bila berdasarkan TGHK tersebut.
Diminta untuk mengurus pelepasan kawasan hutan, padahal asalnya tidak memerlukan pelepasan kawasan.
“Akibatnya menurut pendapat saya dalam hukum menimbulkan konplik norma antara daerah dan pusat,” ujar Gumarang, Senin 11 Oktober 2021.
Namun pemerintah daerah bagaimanapun harus taat mengikuti sikap pusat tersebut, sehingga untuk menyesuaikan RTRWP Kalteng dengan kemauan pusat atau mengacu pada TGHK maka lahirlah PERDA No. 5 tahun 2015 tentang RTRWP Kalteng.
Kondisi ini terjadi karena otonomi daerah masih belum sepenuhnya atau dikenal dengan istilah otonomi setengah hati.
Konplik norma tersebut lanjut Gumarang, juga menimbulkan masalah bagi Perkebunan Kelapa Sawit dilapangan yang sudah terlanjur beroperasi, karena menggunakan kebijakan atau ketentuan lama.
Kemudian lokasi yang mereka garap berubah statusnya menjadi HP, HPK yang sebelumnya tidak bermasalah dan/atau status APL menurut Perda No.8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng dan juga mengacu pada surat Kementerian kehutanan tahun 2000.
Hal tersebut Jelas Dia, menimbulkan polimik, sulit pihak PBS untuk mengurus pelepasan kawasan khususnya kawasan HP sulit di penuhi.
Karena harus melakukan tukar guling dan/atau lahan pengganti dengan lahan APL atau HPK dengan luas yang sama untuk nantinya lahan penggati tersebut dilakukan reboisasi atau menghutankan kembali kawasan pengganti tersebut, ibaratnya seperti jeruk minum jeruk.
Rumitnya permasalahan tersebut akhirnya PBS dituding menggarap lahan HP oleh pihak LSM atau lainnya padahal hal tersebut disebabkan oleh konplik norma antara pusat dan daerah.
Sehingga seakan perkebunan sawit di beri stigma perusak atau penggudul hutan, padahal sebelum kehadiran investasi Perkebunan Sawit sudah ada sektor lain yang melakukan kegitan eksploitasi hutan baik legal (resmi) maupun ilegal logging (penebang liar).
Mencari jalan kebuntuan tersebut, agar konplik norma pusat daerah dan pihak PBS bisa merasa investasi terayomi pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintan No. 60 tahun 2012 perubahan atas PP No 10 tahun 2010 tentang Tata cara Perubahan Peruntuntukan dan Fungsi Kawasan Hutan atau di kenal dengan sebutan keterlanjuran.
Namun solusi ini jelas Gumarang masih belum bisa menyelesaian sepenuhnya, paling tidak nenepis anggapan atau tundingan terhadap investasi perkebunan sawit bukan membabi buta tapi berdasarkan aturan, walau ada juga perusahaan perkebunaan kelapa sawit yang nakal.
Perkebunan Kelapa Sawit dalam hal ini, dalam posisi yang tidak mengenakan padahal jelas ada pihak lain sebelum keberadaan perkebunan kelapa sawit yang tak lepas dari pihak yang mulai sejak sekitar tahun 1970 sudah melakukan eksploitasi hutan.
Baik yang legal maupun ilegal yaitu sektor usaha perkayuan yang sekarang sejarah mereka hampir terlupakan dan sekarang sekitar 50 tahun sudah usianya beraktivitas.
Tidak dipungkiri juga kontribusinya kepada negara, khususnya perusahaan HPH, IPK dan usaha sejenisnya dibidang ekeploitasi hutan/kayu, pabrik kertas dan bermacam macam Industri kayu lainnya sangat besar kontribusiny.
Baik berupa dana reboisasi (DR) dan iuran hasil hutan (IHH), pajak penghasilan (PPH) dan lainnya.
Namun Investasi Perkebunan Sawit, Tambahnya sebagai pendatang baru berinvestasi di lokasi bekas garapan atau eksploitasi kayu yang dilakukan oleh saudara tua yaitu sektor perkayuan.
Hampir terlupakan, karena kehadiran sektor Perkebunan Kelapa Sawit yang saat ini perkembangannya sangat berperan dalam perekonomian Kalteng khususnya, sehingga menjadi perhatian publik.
Mungkin seperti gayung bersambut begitu eksploitasi hutan/kayu selesai dilakukan oleh usaha perkayuaan dan lahan tersebut tidak ekonomis lagi.
“Bahkan ada yang hanya semak belukar saja, sektor perkebunan kelapa sawit mengambil peran untuk melakukan investasi sesuai perijinan yang belaku agar lahan tersebut bernilai ekonomis kembali dan hijau kembali walau sifatnya tanaman homogen,” tutup Gumarang.
[*to-65].