JAKARTA – Aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law sejak awal rancangannya dicanangkan, bukan sekedar latah dan genit, tetapi sungguh merupakan atas rasa ketakutan dan ancaman dari Undang-undang Cipta Kerja yang sering disebut RUU Cilaka itu.
Indikator dari dukungan berbagai pihak, mulai dari mahasiswa, LSM dan Organisasi Besar Umat Islam di Indonesia, sekaliber Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama.
Bahkan KAMI bersama kaum petani dan nelayan, lebih dari cukup membuktikan bahwa Omnibus Law yang lahir secara sesar atau dipaksakan itu, jelas mengancam masa depan kaum pekerja di Indonesia makin tidak berdaya.
Proses dari persalinannya pun sudah diawali dengan perselingkuhan hingga tidak mua melibatkan kaum buruh, apalagi kalangan akademisi dan pakar perburuhan yang kompeten untuk memberi pandangan, masukan hingga hasil analisanya yang kritis tidak sampai merugikan kaum buruh.
Sebab kecenderungan dari Omnibus Law memberi karvet hijau pada kaum kapitalis, pengusaha dan investor ini tidak hanya patut dicurigai, tapi sungguh sangat meyakinkan untuk memenuhi hasrat dan birahi para pemilik uang.
Akibatnya, banyak hak-hak dan kepentingan kaum pekerja Indonesia yang diabaikan atau bahkan seperti diamputasi, jika tak bisa disebut dengan istilah yang lebih keji, yaitu dimutilasi.
Dari jejak langkah wakil rakyat di parlemen yang secara khusus terlibat dalam pembahasan Omnibus Law, jelas tidak lagi layak disebut wakil rakyat.
Sebab suara jutaan buruh yang diteriakkan lalu diikuti dan didukung oleh ragam elemen masyarakat dari bilik lain, cukup terang benderang menunjukkan pengkhianatan terhadap rakyat yang masih mau diklaim hendak terus mereka suarakan.
Pembahasan RUU Omnibus Law secara diam-diam saat pandemi corona mengganas pun, justru dijadikan kesempatan untuk selingkuh itu dengan cara meninggalkan kaum buruh dan warga masyarakat yang mau ikut memberi sarab dan masukan agar hak dan kepentingan kaum buruh tak sampai diabaikan hanya untuk memenuhi hasrat dan birani kaum pemodal.
Buruh dan warga masyarakat luas hendak ikut memberi masukan serta pandagan dalam pembahassn Omnibus Law itu secara cermat dan berkeadilan sebagaiman nafas dari filosofi Pancasila.
Setidaknya norma etika dan moral tidak sampai tercerabut dari akar budaya kita. Minimal dampak buruknya tidak perlu ada dalam perkembangan budaya manusia Indonesia yang harus lebih baik, lebih adil dan lebih beradab seperti cita-cita luhur bangsa Indonesia yang sudah tertuang dalam UUD 1945 yang asli serta pandangan hidup bangsa Ibdonesia, yaitu Pancasila.
Artinya keculasan dari para anggota dewan yang tidak lagi terhormat itu persis seperti perilaku mereka yang selama ini membahas Omnibus Law secara sepihak dan sembunyi.
Sehingga mereka membahasnya pada hari Minggu di hotel kawasan bandar udara Internasional Soekarno Hatta yang gagal karena digruduk oleh buruh dan serikat buruh. Tapi kemudian berhasil dilaksanakan pada hari libur iyu juga di hotel kawasan Serpong, Tangerang Selatan.
Lalu apa artinya cara kerja kucibg-kucingan seperti itu, kalau bukan perselibgkuhan dan ketidak-jujuran dan kemunafikan. Sebab sebelumnya selali dikatakan pembahasan RUU Cilaka itu akan dilukukan secara terbuka dan bersama-sama kaum buruh dan serikat burur serta warga masyarakat lain yang merasa berkepentingan dengan RUU yang semula hendak disahkan pada tanggal 8 Oktober 2020, namun dipercepat untuk memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 justru sedang mengganas pada 5 Oktober 2020
Jacob Ereste :
Baca Juga: Demo Buruh: Seharusnya Polri Tetap Mengedepankan Asas Promoter.
Facebook Comments