Dugaan pencemaran di Sungai Sampit akibat limbah perusahaan perkebunan kelapa sawit terulang kembali, hal ini mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng.
Organisasi pegiat lingkungan ini menilai kasus pencemaran Sungai tersebut sudah berulang dan sering kali terjadi. Karena itu diperlukan pengawasan yang ketat untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Harinata kepada wartawan, Selasa (7/6/2022) lalu.
“Kasus seperti ini kan sudah sering terjadi, seperti terakhir kejadian kebocoran kolam limbah di wilayah Danau Sembuluh dan Pondok Damar,” katanya.
Bayu mengatakan, meski Walhi baru mengetahui kabar tersebut dari pemberitaan media, tapi pihaknya turut merasa prihatin dengan dugaan pencemaran limbah di Sungai Sampit, Desa Natai Baru, Rongkang dan Ramban Kecamatan Mentaya Hilir, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
Menurutnya, apabila memang benar Sungai Sampit tercemar akibat limbah pabrik perkebunan sawit, maka hal ini membuktikan kurangnya proses monitoring dan pengawasan rutin oleh pihak pemerintah, terutama instansi terkait.
Seharusnya ada proses pengawasan rutin tiap tiga bulan atau enam bulan sekali yang dilakukan oleh DLH atau instansi pemerintah terkait lain untuk mengecek baku mutu air, sehingga bisa dilakukan pencegahan dini. Janga seperti ini, sudah kejadian, baru turun ke lapangan untuk mengecek sampel air.
Bayu menambahkan, melihat kondisi di daerah tersebut yang mana terdapat banyak aktivitas perusahaan perkebunan sawit, maka sangat mungkin jika terjadi pencemaran sungai.
Tidak saja tercemar akibat kebocoran limbah pabrik pengolahan sawit, tapi juga akibat aktivitas pemeliharaan tanaman di perkebunan.
“Bukan hanya dari limbah pabrik, tapi juga dari aktivitas dalam proses pemeliharaan kebun, seperti sisa pestisida atau berbagai pupuk kimia yang bisa saja mengalir ke sungai,” ungkapnya.
Pada masa peralihan musim biasanya banyak material dari perkebunan yang mengalir ke sungai. Jadi, pencemaran sangat mungkin terjadi,” jelasnya.
Bayu menyebut, dengan terjadinya pencemaran sungai, maka pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai tersebut. Terutama masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya di sungai, seperti petani keramba maupun nelayan.
Selain itu, dengan tercemarnya air sungai, maka mutu baku air akan menjadi lebih rendah. Otomatis warga tidak bisa lagi menggunakan air sungai itu untuk keperluan sehari-hari.
“Belum lagi hilangnya keanekaragaman hayati, terutama berbagai jenis ikan yang biasa hidup di sungai tersebut, yang pastinya bisa terancam punah,” ujarnya.
Secara tegas Bayu mengatakan, dengan terulangnya kejadian dugaan pencemaran sungai di berbagai wilayah Kalteng, membuktikan bahwa telah terjadi kondisi darurat ekologis di wilayah ini.
“Karena sudah banyak sungai di Kalteng yang terbukti tidak mampu mencapai daya dukung dan daya tampung lingkungannya, akibat pengelolaan sumber daya alam dan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar,” tegasnya.
Bayu mengatakan, Walhi sudah sering menyuarakan soal pentingnya melakukan audit lingkungan oleh pihak pemerintah, terutama di berbagai wilayah aliran sungai yang banyak terdapat aktivitas perusahaan perkebunan sawit.
Dengan cara itu, maka berbagai penyebab atau sumber masalah pencemaran sungai bisa cepat dan mudah diatasi.
“Misalnya kanal-kanal dari irigasi perusahaan yang ada di sekitar DAS Sampit harus diawasi ketat, sehingga potensi material limbah perkebunan mencemari sungai bisa diminimalkan,” kata Bayu.
Bayu juga mengatakan, apabila nanti pihak DLH menyatakan bahwa Sungai Sampit terbukti tercemar, maka pemulihan sungai harus segera dilakukan oleh semua pihak yang terlibat, termasuk perusahaan perkebunan sawit.
“Kami bisa bilang perusahaan-perusahaan perkebunan di sekitar situ harus ikut melakukan pemulihan, karena bisa jadi terlibat sebagai penyebab pencemaran,” terangnya.
Jika pencemaran sungai sengaja dilakukan pihak perusahaan perkebunan sawit, lanjutnya, maka pemerintah perlu memberi punishment (hukuman) yang tegas untuk menimbulkan efek jera, sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali ke depannya.
Sanksi yang dijatuhkan pemerintah kepada perkebunan terkait bisa berupa pencabutan izin sekaligus penutupan pabrik pengolahan kelapa sawit atau melakukan evaluasi terhadap izin Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki perusahaan bersangkutan.
Walhi mendorong agar ada keterbukaan dari pihak pemerintah dalam menyelesaikan kasus pencemaran sungai. Karena menurutnya, tidak sedikit dalam kejadian serupa, proses penyelesaian masalah yang dilakukan pemerintah tidak transparan.
“Sudah sering terjadi, masyarakat melapor adanya indikasi pencemaran, kemudian pemerintah merespons dengan melakukan uji sampel dan laboratorium, tapi hasilnya tidak disampaikan lagi ke masyarakat, seperti yang terjadi di Pondok Damar dan Danau Sembuluh,” pungkasnya.