SAMPIT–Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur M. Khusaini menyayangkan Peraturan Daerah (Perda) milik Pemerintah kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 5 tahun 2011 yang mengatur pola kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat hingga saat ini ternyata belum berjalan maksimal dilaksanakan.
BACA JUGA : Vaksin Covid-19 buatan Sinovac mulai didistribusikan ke 34 provinsi, Kalteng Siap Dukung Vaksinasi Covid-19
Hal itu terbukti dengan masih maraknya tuntutan masyarakat dalam hal pola kemitraan padahal jelas Perda tersebut dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 26 Tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan.
” Dalam Peraturan itu tegas disebutkan adanya kewajiban untuk menyediakan lahan seluas 20% dari luas lahan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak pemilik kebun untuk dijadikan kemitraan atau plasma,” jelasnya, kamaren di Sampit.
Dia mengakui bahwa dalam Permentan nomor 26 Tahun 2007 masih dianggap multitafsir sebab tidak ada ketegasan soal penyediaan lahan plasma sehingga perlu adanya aturan pendukung untuk mempertegas salah satunya melalui Perda plasma Permentan nomor 26 Tahun 2007 yang diperbaharui dengan Permentan nomor 98 tahun 2013 yang didalamnya menekankan bahwa sejak Februari 2007 apabila terjadi pembangunan kebun kelapa sawit maka perusahaan itu wajib membangun kebun masyarakat di sekitar dimana area lahan diperoleh atau membangun kebun dan lahan masyarakat yang ada disekitarnya. Selain itu aturan yang dijadikan landasan hukum dari Perda Plasma yaitu Undang-Undang Nomor : 18 tahun 2004 tentang perkebunan, PP Nomor : 44 1997 tentang kemitraan Permentan Nomor : 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Dan Permen Agraria/Kepala BPN Nomor : 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.
BACA JUGA : Awal 2021 Warga Sawahan Gotong Royong, 3 Hari Perbaiki Jalan Secara Swadaya
Menurut Khusaini Permen Kehutanan tahun 2017 juga mengamanatkan kewajiban 20% membangun kebun kemitraan berdasarkan luas perizinan. Berdasarkan dua peraturan tersebut berarti sejak 2007 hingga saat ini masih dalam proses yakni perizinan pelepasan kawasan maka hak masyarakat ada di dalamnya.
” Inilah yang sampai saat ini belum terisi oleh perusahaan hingga kemudian keluar lagi peraturan baru oleh Presiden RI tahun 2017 bahwa setiap PBS wajib membangun pola kemitraan,” ungkapnya politisi Partai Hanura ini.
Khusaini juga mengatakan bahwa pemerintah telah mencantumkan ketentuan mengenai Indonesia Sustainable Palm Oil System atau ISPO dalam Undang-Undang Perkebunan Nomor : 39 tahun 2014 ketentuan ini mewajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa sawit berkelanjutan dengan metode gantungan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yakni perusahaan telepon wajib memperhatikan faktor sosial ekonomi dan lingkungan. Salah satu membangun perekonomian sejahtera masyarakat dengan membangun kebun kelapa sawit yang pemiliknya lahannya oleh masyarakat.
Untuk itu kami kepada Pemerintah Daerah Kotim supaya benar-benar mengawal peraturan daerah ini supaya membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan perusahaan bisa terlindungi.
“Secara otomatis jika pola kemitraan berjalan dengan baik maka sengketa lahan, klaim lahan dan lainnya akan berkurang dengan sendirinya,” ucapnya.
Khusaini juga mengatakan , Pemda seharusnya sudah mendata seluruh perkebunan kelapa sawit yang sudah dan yang belum melakukan pola kemitraan kemudian melakukan penataan kembali.
“ Pemda harus mendata seluruh perkebunan di Kotim untuk dapat di invetarisir yang sudah dan yang belum melakukan pola kemitraan ,” pungkasnya.
(Joe-Red)
Facebook Comments