Ekonomi masyarakat menjadi korban utama bilamana Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) gagal dan tak mampu untuk mengatasi tingkat penularan covid-19.
Hal ini disampaikan Muhammad Gumarang selaku Pengamat Kebijakan Publik dan Politik kepada media ini, Kamis (15/07/21) siang.
Menurut Gumarang, Sejak di keluarkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat yang diberlakukan sejak tanggal 9 – 20 Juli 2021 untuk daerah jawa, bali dan daerah lainnya di Indonesia.
BACA JUGA : Pemdes Bangkal Bersama BUMDes Buka Pasar Desa Untuk Geliatkan Perekonomian Masyarakat
Sampai sekarang ini tak berhasil meredam atau memutus tali mata rantai penularan covid-19, bahkan yang terjadi malah sebaliknya tingkat penularan semakin menggila, untuk kasus harian saja sekarang sudah menembus 54.517 kasus pada 14 Juli 2021 memecah rekor dunia mengalahkan India.
Melihat keadaan tersebut Pemerintah sebelum habis masa PPKM Darurat berakhir tanggal 20 Juli 2021 mendatang, sekarang sudah menyatakan perpanjangan masa waktu PPKM Darurat sampai 2 Agustus 2021.
Ini sudah membuktikan bahwa faktanya kebijakan PPKM Darurat belum berhasil, sehingga pemerintah memperpanjang masa berlakunya, namun itu pun tidak menjamin keberhasilan.
BACA JUGA : Hadapi covid -19 Pemerintah Disarankan Bebaskan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat yang Esensial
“Menurut pengamatan saya, kebijakan PPKM lebih cendrung kental ego sektoral, lebih banyak melihat dari sisi pengetatan kegiatan masyarakat dengan alasan kepentingan mencegah penularan semata atau demi kesehatan,” ujar Gumarang.
“Tapi tidak mengkaji lebih dalam terhadap sektor dan/atau bidang dan fungsi lain yang tak kalah dasyatnya bisa menjadi korban sangat berbahaya bahkan akan jauh lebih vatal,” ucapnya.
“Misalnya bidang ekonomi bisa menimbulkan peningkatan terhadap putus sekolah, pengangguran, bisnis narkoba semakin merajalela, prostitusi, perampokan, begal, pencurian, penjambretan, perceraian suami istri, kualitas kesehatan menurun, angka kematian meningkat dan lainnya, semua itu merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat yang berdampak langsung terhadap gangguan stabilitas negara,” ungkapnya.
BACA JUGA : Pembangunan Ibu Kota Negara Picu Pertumbuhan Ekonomi Sangat Pesat
Lanjut Gumarang, kebijakan PPKM Darurat tidak memperlihatkan keseimbangan yang maksimal terhadap fungsi lainnya yang vatal dalam kehidupan masyarakat.
Kebijakan dan penanganannya seperti menggunakan kaca mata kuda, sehingga rentan akan terjadi konplik antara petugas lapangan atau tim satgas covid dengan masyarakat terutama masyarakat ekonomi kecil, menengah, yang lama lama bisa berujung rusuh secara massif.
Karena masyarakat ekonomi kecil menengah dihadapkan delematis hanya dua pilihan mati karena covid-19 atau mati karena kelaparan, karena bansos tak bisa memberi solusi yang terbaik, lantaran kebutuhan masyarakat bukan hanya makan minum saja, tapi juga perlu kebutuhan pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, dan lainnya.
BACA JUGA : Ketua Bapemperda DPRD Kotim Kawasan Industri Bisa Tumbuhkan Ekonomi
Memberlakukan kebijakan seperti PSBB, PPKM Mikro, PPKM Darurat dan kebijakan penanganan kasus covid-19 baik berat, ringan maupun kebijakan kesehatan lain nya, selama ini nampak menimbulkan aroma kurang sedap yaitu:
- Maraknya kejahatan bisnis fasilitas kesehatan atau farmasi yang tidak terkontrol dengan mengambil keuntungan besar-besaran, padahal menyangkut kemanusiaan.
- Maraknya korupsi, penyalahgunaan bantuan sosial baik bersumber dari bantuan pemerintah maupun dari pihak swasta.
- Penyaluran Bansos tidak efektif dan banyak bermasalah dilapangannya.
- Bansos sifatnya tidak mendidik menjadikan sebahagian masyarakat jadi malas bekerja.
- Bansos menguras dana pemerintah, sedangkan penerimaan Negara dilihat dari sisi Produk Domistik Bruto (PDB) semakin menurun, sehingga untuk membiaya Bansos hasil dari Hutang dengan Negara luar.
- Keperluan fasilitas kesehatan dan penggunaannya seperti, peralatan/ perlengkapan, obat obatan, vaksin dan lainnya untuk covid-19 dilapangan sering mengalami masalah.
- Proses pelayanan medis di rumah sakit tidak maksimal, karena ratio tenaga kesehatan (nakes) jauh tidak sebanding dengan jumlah pasein covid-19 yang idealnya 1:4 menurut WHO.
- Pembiayaan kesehatan khususnya untuk peralatan, obat-obatan, vaksin untuk covid-19 di dominasi juga dari hutang luar Negeri, terutama diantaranya dengan Negara Cina.
BACA JUGA : Opini: Kapan Kejahatan Korporasi PBS di Negeri ini di Berangus?
Dalam mengimpor barang-barang farmasi tersebut banyak pihak pengusaha kakap bisnis farmasi dan lainya mengambil untung dalam stituasi bencana wabah.
Seharusnya pemerintah mematok harga atau mengendalikan harga untuk barang kemanusiaan tersebut, jangan harga dilapangan bahkan jauh melebihi harga kewajaran komersial, seperti pemerasan terselubung berkedok usaha farmasi.
- Dana isentif untuk nakes relatif besar walaupun berisiko tinggi, namun ada saja pihak-pihak tertentu yang senang dalam hal ini.
- Terlalu banyak pihak yang dilibatkan atau di fungsikan dalam penanganan pencegahan penularan cobid-19 namun tidak efektif dan menimbulkan pemborosan uang Negara.
BACA JUGA : Pengumuman Berita Kehilangan Sertifikat Tanah Hak Milik Nomor 5294
Disisi lain Rumah Sakit rujukan kasus covid-19 teramcam kolaps, yaitu pertama kolaps fungsional karena tidak tersedianya fasilitas tempat tidur pasien covid lantaran rumah sakit rujukan covid-19 Bed Accovancy Ratet (BAR) sudah banyak rumah sakit rujukan covid-19 BAR 100% lebih khususnya jawa, bali dan sebahagian daerah lain.
Sehingga banyak pasein yang tidak dapat tempat tidur, terpaksa diselasar,di lorong-lorong, di kursi-kursi, bahkan sebahagian pasein yang tidak sempat mendapat pelayanan medis keburu meninggal.
Hal ini akibat fasilitas kesehatan dan nakes jauh tidak sempat mengambil tindakan medis dan/atau tidak bisa menangani sehingga menimbulkan rumah sakit rujukan covid-19 sebahagian kolaps fungsional.
BACA JUGA : Silva APBD Terjadi Karena Dana Dak Tak Bisa Digunakan Keperluan Lain
Kedua kolaps atau bangkrut akibat banyaknya tagihan rumah sakit rujukan yang belum dibayar pemerintah, bahkan sudah ada kabarnya satu rumah sakit rujukan covid-19 yang terjual dan dibeli oleh salah satu pengusaha Nasional yaitu Sandiaga Uno beberapa waktu lalu.
Mungkin saja rumah sakit rujukan covid-19 yang lainnya juga akan menyusul untuk dijual karena keadaan yang sama kesulitan likwiditas.
Kebijakan yang menyangkut Penanganan wabah covid-19 seperti kasus berat, ringan dan kebijakan PPKM Mikro atau PPKM Darurat dan lainnya harus di evaluasi atau ditinjau kembali, karena bila gagal dan yang menjadi korban adalah ekonomi berbagai sektor, kecuali bisnis farmasi.
BACA JUGA : Komisi IV DPRD Kotim, Akan Memanggil Direktur dan Managament PDAM
“Kebijakan tersebut disarankan diganti dengan kebijakan yang populis dan konstruktif bagi masyarakat, yaitu melalui NORMALISASI DAN PENGENDALIAN AKTIVITAS MASYARAKAT,” tambah salah seorang Penulis Buku Sampit Bukan Poso Bukan Pula Timur timor ini.
“Dengan konsekwensi Bansos ditiadakan untuk masyarakat yang terkena dampak covid-19, karena prinsif kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang esensial di normalisasikan dan terkendali dengan tetap melaksanakan vaksin dan protokol kesehatan secara ketat dan melarang dan/atau membatasi kegiatan masyarakat yang tidak esensial,” pungkasnya.
[Misnato]