Kasus Artis terkenal berinisial Nr dan Ab diperkirakan mungkin akan terbantukan dengan adanya Pasal 127 Ayat (3) menjadi pihak korban narkoba.
Baru – baru ini publik dikejutkan adanya berita yang ramai menghiasi berbagai media baik cetak maupun online atas penangkapan yang dilakukan oleh Satrenarkoba Polres Metro Jakarta Pusat.
Terhadap anak dan minantu tokoh Nasional dan kongmerat yaitu NR, AB dan supirnya ZN, diketahui juga NR adalah artis terkenal atau publik pigur yang tak asing dimata masyarakat Indonesia.
BACA JUGA : Satreskrim Polres Tabalong dan Polsek Tanjung Kota Tangkap Seorang Pria, Ini Dia Kasusnya ?
Publik mendengar berita tersebut bagaikan disambar petir di siang bolong, bahkan sebahagian masyarakat hampir tak percaya, karena pelakunya orang secara duniawi memilki segalanya dengan berbagai kemewahan yang dimiliki dengan segala ketokohan keluarga besarnya, namun kenyataan memaksa masyarakat harus menerima kenyataan.
Awal dilakukan penangkapan oleh polisi adalah supir NR yaitu ZN yang digeledah ditemukan barang haram sabu seberat 0,78 g narkotika golongan satu. Kemudian ZN mengaku barang tersebut milik NR.
Pihak kepolisian langsung menyambangi dan menggeledah rumah NR ditemukan alat pengisap sabu atau bong, kemudian keduanya di bawa ke Polres Metro Jakarta Pusat, dalam pemeriksaan NR mengaku pemakai bersama suaminya AB.
BACA JUGA : Kasus Covid-19 Makin Menggila, Kemeskes Bongkar Biang Keroknya
Kemudian tak berselang lama suami NR yaitu AB menyerahkan diri ke Polres Metro Jakarta Pusat dan ketiganya sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka dengan dikenakan Pasal 127 Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman penjara maksimal 4 tahun atau rehabilitasi.
Polisi harus mampu mengungkap secara profesional jaringan barang haram tersebut melalui pengungkapan kasus AR, AB dan ZN, bila tidak terungkap jaringan mafia narkoba tersebut maka kasus itu nantinya bisa hanya menjadi legeda saja dimasyarakat.
Karena bukan rahasia lagi kalau penerapan terhadap pasal 127 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 127 pasal yang bernuansa subyektif atau dikenal dengan istilah pasal karet sedang prinsif hukum acara pidana adalah proses hukum yang benar atau adil (Due process Of Law).
BACA JUGA : Polri Pesan Patuhi Prokes di Tengah Kasus COVID-19 yang Melonjak Tinggi
Namun masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena pasal 127 ayat (3) mengisyaratkan adanya rehabilitasi bagi yang terbukti sebagai korban yang mengalami kecanduan, ketergantungan penyalahgunaan narkoba yang nantinya melalui penetapan Pengadilan bisa dikenakan rehabilitasi bukan hukuman penjara, yang diatur dalam pasal 103 ayat (1) hurup b undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Menurut Muhammad Gumarang, Pengamat Hukum dan Politik di Kalteng,”Mengapa pasal 127 dinilai bernuansa subyektif alias pasal karet, menurut saya ada hal subtansial yang tidak jelas,” ujar Gumarang.
“Pertama kalimat yang dimaksud sebagai korban padahal pelaku alias pemakai dengan sadar tanpa tekanan atau ancaman secara fisik maupun psikis, menguasai, memiliki barang narkotika tanpa hak menurut hokum,” katanya.
BACA JUGA : Mungkinkah Polres Kotim Dapat Mengungkap Kasus Miras Ilegal Cawan Mas
“Kedua kalimat yang dimaksud kecanduan atau ketergantungan sehingga sebagai dasar untuk merehabilitasi adalah mengandung tidak berkeadilan bila kita hubungkan asas hukum yang disebut fiksi hukum yaitu semua orang dianggap mengetahui tentang peraturan perundang undangan sejak diundangkan oleh negara yang sifatnya mengikat dan tidak bisa membebaskan atau memaafkan seseorang dari tuntutan hukum (Presumption uires de iure),” urainya.
“Kecuali yang bisa membebaskan seseorang dari hukum pidana adalah orang gila atau sakit jiwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, jadi menurut analis saya kecanduan yang besifat sengaja tanpa adanya tekanan atau ancaman pisik maupun psikis tidak termasuk yang dibebaskan dari tuntutan hukum pidana, dan dia melakukan dalam keadaan sadar serta sudah cukup umur atau cakap menurut hokum,” jelasya.
Lanjut Gumarang, selain itu pasal 127 ayat (3) kontradiktif dengan pasal 128 ayat (3) jo. pasal 55 ayat (2) undang undang no.35 tahun 2009 tentang narkotika.
BACA JUGA : Mungkinkah Polres Kotim Dapat Mengungkap Kasus Miras Ilegal Cawan Mas
Tapi apa kenyataan sekarang terhadap penerapan pasal 127 tersebut yang sifat subyektif atau opsional yang dikenal dengan istilah populernya pasal karet tersebut jalas pelaku kejahatan narkoba yang memiliki kemampuan lebih memilih rehab dari pada hukuman penjara.
Sedangkan rehabilitasi tersebut tak ubahnya seperti orang gila yg melakukan kejahatan dibebaskan dari tuntutan hukum namun wajib masuk rumah sakit jiwa untuk dilakukan pengamanan, pengobatan dan/atau perawatan, pembinaan dan hal lainnya.
Tapi bagainana perlakuan terhadap rehabilitasi terhadap pemakai, kencanduan atau ketergantungan dan penyalahgunaan narkoba yang bersangkutan harus di amankan, di obati, dirawat, dibina di rumah sakit atau ditempat lembaga rehabiltasi yang di siapkan pemerintah sampai betul-betul sembuh.
BACA JUGA : Kapolri: Akhir Agustus Warga Jawa Timur Terima Hadiah Herd Immunity
Bukan mereka seperti berobat jalan tinggal dirumah mewah, apertemen atau hotel dan sebagainya, karena makna dari rehab adalah bentuk menjalakan ketetapan atau penegakan hukum yang harus dijalani melalui rehabilitasi.
Yaitu pengamanan, pengobatan, perawatan, pembinaan baik secara medis maupun sosial dalam rangka pemulihan kesehatan fisik maupun psikis, agar kehidupan normal kembali.
Namun yang menjadi permasalahan adanya rehab tersebut menimbulkan ketidak adilan dalam penegakan hukum bila dilihat dari fiksi hukum yaitu asas hukum dimana semua orang dianggap tau tentang hukum dan sifatnya mengikat.
BACA JUGA : Panglima TNI dan Kapolri Tinjau Serbuan Vaksinasi di Solo
Tidak bisa membebaskan atau memaafkan seseorang dari tuntutan hukum (Presumption uires de uire), sekalipun dia buta hurup atau orang yang tinggal menyendiri dipedalaman hutan belantara tetap asas tersebut berlaku, kecuali orang gila asas tersebut tidak berlaku dan/atau bebas dari tuntutan hukum pidana sebagaimana yang diatur pasal 44 ayat (1) KUHP.
Saya yakin kasus penggunaan narkoba oleh NR, AB dan ZN akan berakhir pada rehabilitasi apa lagi sekelas anak tokoh Nasional, kongmerat dan juga tersangka sebagai artis terkenal atau publik pigur dapat diyakini hal tersebut tidak mungkin memilih jalan hukuman penjara.
Mengingat ruang untuk memilih proses hukum tersebut terbuka bagi setiap tersangka pengguna narkoba untuk lepas dari hukuman penjara bila mengacu pada pasal 127 ayat (1) tersebut.
Bahkan di Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika selalin pasal 127 yang dikenal istilah pasal karet, ada lagi pasal yang rentan juga mengaret dan/atau melepaskan dari jeratan atau tuntutan hokum.
Bagi pemakai atau pengguna narkoba, pertama anak dibawah umur namun wajib melaporkan atas penggunaan narkoba tersebut oleh orang tuanya atau walinya, hal ini diatur dalam pasal 128 ayat (2) jo. pasal 55 ayat ayat (1).
Kedua adalah orang dewasa sebagai pemakai narkoba yang wajib lapor atas penggunaan tersebut yang dapat dibenarkan secara hukum misalnya menjalani masa rehabilitasi medis untuk pengobatan, hal ini diatur dalam pasal 128 ayat (3) jo.pasal 55 ayat (2) undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Maka kalau jaringan mafia narkoba tidak bisa terungkap dalam kasus AR, AB dan ZN tersebut dan hanya pemakai yang dianggap sebagai korban dan cuma dilakukan rehabilitasi atau lepas dari hukuman penjara, ya beda beda tipis dengan orang gila dan/atau seperti anak dibawah umur maka hapuslah kejahatan.
Berarti membuktikan betul-betul adanya menciptakan memutus tali rantai jaringan kejahatan narkoba tersebut, sehingga sulit memberantas kejahatan narkoba, karena jelas penyelidikan atau penyidikan akan berpotensi tutup buku.
Nantinya dalam kasus tersebut bila tidak terungkap jaringan kakapnya, padahal banyak sudah artis atau publik pigur yang tersandung narkoba dan itu diduga ada pertaliannya dalam supply barang haram tersebut.
[Misnato]