Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Damanda) Kotim Hardi P. Hady Angkat bicara terkait permasalahan konflik agraria antara invetor perkebunan kelapa sawit dengan warga sekitar perusahaan di wilayah Kabupaten Kotatawaringin Timur (Kotim).
Lantaran kerapkali masyarakat yang memperjuangkan plasma minimal 20 persen dari lahan yang diusahakan, berujung ke jeruji besi khususnya bagi masyarakat biasa. Kondisi itu, jangan terkesan ada pembiaran, karena dikhawatirkan bisa berdampak terjadinya konflik sosial.
Konflik Agraria di Kotim ini perlu menjadi perhatian serius oleh semua pihak, terutama oleh Pemerintah Daerah dan Penegak Hukum, pasalnya jika dibiarkan bisa menimbulkan konflik sosial yang meluas, yang bakal mengganggu keamanan daerah yang sudah kondusif. Hal ini telah disampaikan Hardi P Hady yang juga salah satu unsur ketua DAD Kotim, Rabu (26/05/21).
BACA JUGA : Hampir 100 Ribu Terdapat ASN/PNS Misterius atau Fiktif
“Yang paling dominan adalah konflik antara warga masyarakat adat dengan Perusahaan Besar Swasta (PBS),” ujar Hardi.
Lanjut Hardi, ada yang menarik dengan kondisi hukum kita pada saat ini, yang semakin nyata “tajam kebawah namun tumpul ke atas”, aparat cepat tanggap terhadap laporan pengusaha (PBS) mengenai Masyarakat yang mempertahankan haknya terhadap lahan dan kebun yang dirampas oleh perusahaan.
Namun cendrung abai bahkan tidak ditanggapi sebagaimana mestinya dengan laporan /pengaduan masyarakat terhadap PBS yang merampas haknya tanpa kompromi itu.
BACA JUGA : Triyono Tanyakan Keprofesionalan Kinerja Penyidik Paminal Polda Kalteng
Sekarang maraknya masyarakat disekitar kebun perusahaan menuntut plasma atau kebun kemitraan, setelah sekian lama bahkan ada yang sampai lebih dari 20 tahun keberadaan PBS disekitar desa mereka, belum ada yang namanya plasma untuk masyarakat sekitarnya.
Padahal semua surat-surat yang melegalkan adanya kegiatan PBS seperti Ijin Prinsip, Ijin Pelepasan Kawasan, Ijin Usaha Perkebunan, HGU dll, disertai kewajiban untuk memberdayakan warga lokal dan mengadakan kebun plasma minimal 20% dari lahan yang diusahakan bagi warga sekitar.
Bahkan ada yang telah membuat kesepakatan, perjanjian dan pernyataan masih juga diingkari dan diabaikan oleh PBS dan didiamkan oleh pemerintah daerah.
BACA JUGA : Saksi Meringankan Terdakwa Hj Rus Sebut Kotak Rokok LA , Bukan Sampurna
Mirisnya mereka yang memperjuangkan plasma sebagaimana aturan dan perjanjian sering mendapatkan ancaman bahkan ada yang berujung ke jeruji besi, kondisi yang seperti ini kalau dibiarkan dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak dan konflik sosial yang lebih besar dimasyarakat adat kita.
Kami masyarakat adat merasa ”IRI” dengan saudara kita warga transmigrasi yang sudah menikmati plasma dari PBS disekitar desa mereka, tanpa keringat membuka hutan diberi lahan oleh pemerintah, baserta surat-suratnya, tanpa bersusah payah mempertahankan lahannya itu dapat plasma
Untuk wakil rakyat yang terhormat, adakah peduli dengan keadaan ini, haruskah masyarakat adat diam dan menjadi penonton yang baik atau mencari formula sendiri untuk mencapai tujuannya , walaupun dengan melanggar hukum?, Suara hati beliau yang juga sebagai wakil Kepala I Batamad Kotim.
BACA JUGA : Pengacara Minta Kepada Majelis Hakim, Terdakwa Hj Rus Untuk Dibebaskan Batal Demi Hukum
“Saya berharap kepada penegak hukum, baik kepolisian dan kejaksaan di Kotim, dalam melakukan tindakan hukum yang perkaranya berhubungan dengan perusahaan perkebunan dengan masyarakat Adat di wilayah hukum Kotim agar bisa menerapkan apa yang diistilahkan oleh Kapolri yaitu”Restoratif Justice”, katanya.
Dalam sambutan Bapak Kapolri, mengatakan bahwa beliau dalam rangka melanjutkan Reformasi Polri,”Kami membuka diri, menampung aspirasi dan pandangan semua elemen masyarakat, untuk mendudukan Polri menjadi pelindung dan pengayom bagi segenap warga bangsa.
Kami tidak akan selalu bekerja profesional, yakni mendasarkan kinerjanya kepada ilmu pengetahuan dan sistim hukum yang berlaku, tapi juga amanah, akuntabel kepada pemangku kepentingan antara lain dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun pada masyarakat yang kami layani”
Kepada pemerintah daerah khususnya Pemda Kotim, jangan mengabaikan tuntutan masyrakat tentang kewajiban plasma bagi PBS bagi warga sekitar kebun, tegakan aturan yang sudah ada dan jalankan sebagaimana mestinya.
Paling tidak dengan adanya plasma bagi masyarakat, masyarakat terbantu perekonomiannya dan perusahaan relatif aman kegiatannya, terjadi hubungan simbiosis mutualisma (Saling menguntungkan/membutuhkan).
“Kami dari AMAN sangat mendukung kebijakan Kapolri dengan pendekatan yang humanis dan akan memberikan rasa aman dan keadilan bagi semua warga bangsa, sehingga masyarakat adat bisa mendapatkan keadilan hukum serta hak-haknya terpenuhi sebagaimana yang diamanatkan oleh pendiri NKRI ini yang dituangkan dalam Pancasila khususnya sila ke 5 (lima) yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tegasnya.
BACA JUGA : Mafia Tanah Merampok Uang Negara di Boven Digoel Papua Kebal Hukum, Gafta Laporkan Ke Kapolri
“Dari berbagai sudut pandangan dan pengalaman (Pernah Kepala Desa, Ketua DAD Kecamatan) saya melihat bahwa potensi konflik akan semakin besar kalau tidak diantisifasi dari sekarang,” pungkasnya.
[*to-65].
BACA JUGA : Presiden Joko Widodo (Jokowi) Resmi Melantik Letjen TNI Ganip Warsito Sebagai Kepala BNPB