JAKARTA – Kinerja KPK patut diapresiasi dan diacungi jempol pasalnya berhasil kembalikan 3,56 juta hektar lahan di Kalimantan Tengah ke negara, hasil pencabutan 776 izin batubara.
Sebagaimana yang telah terungkap dalam diskusi daring Potensi Korupsi Tumpang Tindih Perizinan Sumber Daya Alam di Kalimantan Tengah, yang digelar oleh Pusat Edukasi Antikorupsi KPK bekerjasama dengan Yayasan Auriga Nusantara, Selasa (2/2/21) lalu, dikutif dari RADARNTT dan KPK.
Dian Patria Kepala Satuan Tugas Koordinator Supervisi dan Pecegahan Tindak Pidana Korupsi (Korsupgah) KPK Wilayah VIII mengibaratkan, luas lahan yang berhasil dikembalikan ke negara tersebut lima kali lebih besar dari luas Provinsi DKI Jakarta.
Baca Juga: KPK dan BPK Harus Tangani Kasus Mega Proyek Multiyears di Kotim
Dian menambahkan, dalam kegiatan Korsupgah KPK juga membenahi sektor tambang dan menyelamatkan hutan Indonesia.
“KPK telah berhasil melindungi 82 ribu hektar hutan konservasi dari hasil menertibkan izin batubara yang berada di kawasan hutan konservasi. Sementara 12 ribu hektar hutan lindung berhasil diselamatkan dari penertiban tersebut,” ungkap Dian.
Narasumber lain yang turut dalam diskusi daring itu diantaranya Edi Suryanto (Kepala Satgas Kopsurgah wilayah VI), Dimas Hartono (Direktur Walhi Kalimantan Tengah), Fatkhurohman (Pemerhati Lingkungan Kalimantan Tengah) dan Paulus Alfons Yance Dhanarto (Dosen Universitas Palangkaraya).
Baca Juga: Karliansyah,S.H: Halo KPK, Kapan Bupati Kotim ditangkap?
Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki tutupan hutan terbanyak. Namun, menurut data Global Forest Watch, selama 2001 hingga 2019.
Kalimantan Tengah kehilangan tutupan hutan seluas 3,38 juta hektar atau sekitar 13 persen dari tutupan hutan dunia. Angka ini menempatkan Kalimantan Tengah di urutan ketiga setelah Riau dan Kalimantan Barat.
Salah satu penyebab dari berkurangnya tutupan hutan itu adalah terjadinya tumpang tindih perizinan, terlebih lagi untuk perkebunan. Masalah tumpang tindih ini tidak hanya menjadi lahan korupsi, bahkan jadi penyebab timbulnya konflik lahan.
Baca Juga: KPK Sita Rp14,5 Miliar dan Tetapkan Mensos Sebagai Tersangka Suap Bansos Covid-19
Masalah ini diduga Paulus Alfons Yance Dhanarto berakar dari pengambilan keputusan yang mutlak pada aktor negara yang berwenang dengan mengatasnamakan investasi, dimana setiap pengajuan izin harus disetujui.
“Potensi korupsi semakin besar karena tidak sinkronnya aturan tata ruang baik di jajaran pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Jaringan informal aktor bisnis dan negara bersifat multisektor dan multilevel, sehingga diperlukan metode luar biasa dalam mengungkap korupsi melalui jaringan informal ini. Selain korupsi, jaringan informal juga bekerja dalam konflik lahan di Kalimantan Tengah,” papar Paulus.
Baca Juga: Rugikan Negara 5.8 Triliunan, KPK Periksa Kembali Bupati Kotim.
Menanggapi hal ini, dalam diskusi itu Dian menjelaskan bahwa pembenahan sumber daya alam yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) telah membawa sejumlah dampak.
Diantaranya peningkatan penerimaan negara baik pajak maupun non pajak, terutama terkait dengan pengembalian kerugian, pemenuhan kewajiban melalui penataan izin, perbaikan data sumber-sumber penerimaan dan dari sanksi terhadap tambang dalam kawasan.
“KPK juga melakukan penguatan fungsi pengendalian pemerintah. Fasilitasi penataan dan penaatan izin, melalui CnC, blokir izin, pengembangan sistem informasi, kerangka regulasi perlindungan lingkungan,” ungkapnya.
Selain itu, Dian menyampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi juga melakukan pengurangan biaya informal dan standar layanan publik, perampingan mekanisme perizinan yang menyebabkan moral hazard, sehingga menekan biaya informal, dan perbaikan ease of doing business di Indonesia. [*to-65].
Baca Juga: Wah!, Diam-Diam KPK Telisik Kasus Tambang PT. IBB di Kotim
Facebook Comments