Sebuah jalan di Kota Kupa, berjalanlah seorang pemuda yang bernama Sabit, tiba-tiba ia melihat buah Apel jatuh dari tangkainya.
Pemuda itupun memungutnya, lalu dengan tenang dia memakannya. Baru separuh yang dia gigit dan ditelannya, tersentaklah ia.
Ia baru tersadar bagaimana mungkin ia memakan sesuatu yang bukan miliknya. Akhirnya pemuda itu menahan separo sisa Buah Apel dan pergi mencari penjaga kebun tersebut.
Setelah bertemu ia pun berkata,”Wahai Hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh Buah Apel ini, Apakah engkau mau memaafkan saya,” ujar pemuda itu.
Penjaga itupun menjawab bahwa kebun itu bukan miliknya,” Jika mau temuilah pemiliknya langsung, Cuma pemiliknya tinggal ditempat yang jauh, dan butuh waktu sehari semalam untuk tiba dirumahnya,” jawab penunggu kebun itu.
Tanpa berpikir panjang berangkatlah Sabit untuk menemui pemilik kebun, meski jauh tekatnya sudah bulat demi mendapatkan kerelaan dan ampunan dari pemilik kebun.
Setibanya di rumah pemilik kebun tersebut, Sabit menyampaikan ikwal kedatangannya sambil membawa sisa Buah Apel yang belum sempat habis ia makan.
“Saya tidak akan memaafkan kamu,” kata pemilik kebun itu.
“Demi Allah saya akan memaafkanmu, kecuali engkau menerima syaratku,” ucapnya.
Sabib kemudian bertanya,” Syarat apakah gerangan wahai hamba Allah,” tanya Sabit.
Pemilik kebun itu menjawab,” Kamu harus menikahi putriku, kalau kau terima kamu akan saya maafkan, Cuma lebih awal saya perlu sampaikan kepada engkau bahwa putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh tidak mampu berdiri,” terangnya.
Sabit pun terperanjat, lalu berpikir panjang, dalam hatinya bertanya, jika saya tolak, lalu bagaimana pemilik Apel itu jika menuntutnya nanti di hari pengadilan akhirat.
Sabit pun bersikap, ini semata demi mendapatkan maaf dan kerelaan dari pemilik kebun. Akhirnya Sabit pun menjawab, “Baiklah saya terima syarat itu,” jawab Sabit.
Ijab Kabul pun digelar, kini waktunya menemui istrinya, Sabit seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya, lalu memberi salam.
Pemuda itu kaget luar biasa, Sabit tiba-tiba mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita telah berdiri menjabat tangannya, Sabit pun masih heran dan kebingungan.
Bukankah tadi mertuanya mengatakan bahwa putrinya itu adalah gadis yang buta, gadis yang tuli, bisu dan lumpuh, lantas siapa gadis ini? Begitu pertanyaan Sabit dalam hatinya.
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang dirinya, “Demi Allah,” kata perempuan yang menjadi istrinya ini,” Bapak ku tidaklah pernah dusta, Sungguh saya tidak pernah melihat sesuatu yang dimurka oleh Allah ta’ala,”
Perempuan itu melanjutkan,” Demi Allah, saya tidak pernah mengucapkan satu kalimatpun yang membuat Allah ta’ala murka,”
“Demi Allah, saya tidak pernah mendengar, kecuali semua yang didalamnya terdapat ridho Allah,”
“Demi Allah, saya tidak pernah melangkahkan kaki saya, kecuali ketempat yang di ridhoi oleh Allah ta’aka,” demikianlah jawab istrinya.
Dan perempuan ini dengan tegas. Pemuda itu atau Sabit memandangi wajah istrinya yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan ini lahirlah seorang hamba Allah yang amat saleh, dia memenuhi dunia dengan ilmu dan ketaqwaannya.
Bayi tersebut diberi nama Lukman. Dialah Lukman Bin Sabit Abu Hanifah, atau kita mengenalnya dengan Imam Hanafi.
Teman-teman, dikebeningan air Nan jernih, tentu berasal dari sumber air yang bening pula. Buah jatuh selalu tak jauh dari pohonnya, demikian (Arum Sewim).
Facebook Comments