Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya keluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap H Supian Hadi, S. Ikom (SHD).
Mantan Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), yang selama ini terbelenggu kebebasannya selaku warga negara.
Lantaran hingga saat ini pihak penyidik KPK diduga kuat belum bisa membuktikan secara konkrit unsur pidana korupsi yang telah ditudingkan kepada orang nomor satu di Kotim ini.
Petualang Jurnalis dalam hal ini sangat menyayangkan sikap penegak hukum anti rusuah dengan nama besar KPK yang terkesan tidak jeli, tidak profesional untuk menjaga marwahnya sebagai penegak supremasi Hukum yang berkeadilan di negeri ini.
Petualang menilai KPK terlalu dini dan terkesan terburu-buru dalam menetapkan SHD sebagai tersangka mega korupsi yang dituding merugikan negara dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang menurut hasil penyidikan KPK terhadap pemberian izin usaha pertambangan (iup).
Baik kepada PT. Fajar Mentaya Abadi, PT. Billy Indonesia, dan PT. Areis Iron Mining, yang merugikan Negara Rp5,8 Triliun dan menerima suap dua unit mobil mewah 1 unit Land Cruser 1 unit Hammer H3, uang tunai Rp500.000.00,- dan US $711.000.
Petualang mencatat kebebasan SHD dibelenggu KPK selama 4 tahun sampai pada tanggal 1 Februari 2023 yang akan datang, kasusnya menjadi misteri seperti tenggelam ditelan bumi.
Hal ini sangat merugikan yang bersangkutan dalam segala hal yang tidak bisa dinilai dari segi apapun baik dari segi materi dan harga diri pribadinya maupun keluarga besarnya.
Sanksi sosial yang menimpa SHD ini sangat membebani, membatasi ruang gerak yang bersangkutan, misalnya dalam hal ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR atau mencalon diri sebagai gubenur masih terikat status tersangka hal tersebut bisa menghambat yang bersangkutan.
Demi kemanusian dan keadilan yang hakiki dalam hal ini Petualang Jurnalis berharap kepada Lembaga Anti Rusuah atau KPK segera melepas belenggu yang mengekang haknya sebagai warganegara selama ini.
Petulang berharap, kalau yang besangkutan memang tidak cukup bukti, SHD harus dibebaskan dari tersangka dan atau kasus hukumnya harus di SP3, dan kalau memang cukup bukti proses hukumnya harus ditegakkan secara law enforcement untuk dibuktikan di pengadilan sehingga mencegah publik tidak melakukan opini liar.
Status tersangka yang ditetapkan pada seseorang dapat dicabut apabila terhadap perkaranya dilakukan penghentian penyidikan. Pada pasal 109 ayat (2), “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarganya.”
Kemudian Pasal 109 ayat (3), “Dalam hal penghentian tersebut dilakukan oleh penyidik pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.”
Lebih lanjut, Perkapolri No. 14 Tahun 2012 pada Pasal 76 ayat (1) menyebutkan, penghentian penyidikan dilakukan apabila: tidak terdapat cukup bukti; peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; Dan demi hukum karena: tersangka meninggal dunia; perkara telah kadaluarsa; pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
Pasal 76 ayat (3) kemudian menyatakan bahwa ‘dalam hal dilakukan penghentian pentidikan, penyidik wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka atau penasihat hukumnya’.
Dengan dikirimnya surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) ini, orang tersebut tidak lagi menjadi tersangka.
Untuk mengingat lupa agar diketahui bahwa Mantan Bupati Kotim SHD ini kabarnya sudah dua kali diperiksa KPK dalam status sebagai tersangka di gedung merah putih tanggal 19 Desember 2019 dan senin 24 Agustus 2020 silam.
Namun setelah itu tak terdengar lagi berita tentang proses hukum selanjutnya sampai saat ini, dan masyarakat pun nampaknya tidak bisa berbuat banyak harus menanyakan hal ini kemana tentang proses kasus tersebut seperti misteri.
Saat itu SHD dijerat dan dibidik KPK atas perbuatannya dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 undang undang no.31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan undang undang no.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Menyikapi permasalahan ini petualang jurnalis menganggap kasus ini penuh kejanggalan, ada apa dibalik ini semua, pada prinsifnya kinerja KPK dianggap tidak professional dan sangat terburu-buru saat itu menetapkan SHD sebagai tersangka.
Dengan demikian kasus ini mengurangi kepercayaan publik terhadap kinerja Lembaga Anti Rusua ini kedepannya, apakah ini suatu keterlanjuran pihaknya menetapakan SHD sebagai tersangka atau bagaimana, hanya KPK dan TYME lah kiranya mengetahui hal ini semuanya, demikan.
Penulis : Misnato (Petualang Jurnalis).