Kali ini Petualang Jurnalis kembali beropini, guna menyikapi keluhan beberapa pemilik media lokal di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang terkesan dan atau merasa di anak tirikan oleh Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
Terkait susahnya untuk mendapatkan irisan kue besar dari dana iklan atau belanja media yang begitu besar dikucurkan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kalimantan Tengah.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Petualang Jurnalis, pemilik perusahaan media lokal saat ini banyak yang mengeluh karena tersingkir oleh media besar (Nasional) untuk mendapatkan kontrak media guna memberitakan pembangunan di Kalteng.
Pasalnya Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) secara umum di Kalteng ini begitu rumitnya menerapkan aturan-aturan atau syarat-syarat untuk pengajuan kontrak sebuah media dengan berbagai dalih.
Sehingga banyak media-media Nasional menguasai dan atau menopoli uang nelanja iklan tersebut, dengan demikian media lokal akhirnya jadi penonton dilapangan sendiri.
Hal ini tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, yang telah diberitakan oleh salah satu media yang menjadi referensi Petualang Jurnalis kali ini.
Media tersebut telah memberi judul. “Dinas Kominfo Mukomuko Diduga Jadi Budak Dewan Pers”.
Silahkan simak isi beritanya berikut ini:
Mukomuko – Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, diduga kuat menjadi jongos atau budak lembaga partikelir (lembaga swasta) bernama Dewan Pers.
Pasalnya, Dinas yang diberi tugas mengelola sistem informasi dan komunikasi itu menerapkan undang-undang (peraturan – red) yang dikeluarkan Dewan Pers, bukan Undang-Undang produk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa Dinas Kominfo Mukomuko telah mengeluarkan aturan terkait kerjasama dengan perusahaan pers, baik media cetak maupun online.
Dalam peraturan tahun 2023 tersebut, salah satu persyaratan kerjasama adalah media harus telah terdaftar (terverifikasi) Dewan Pers. Selain itu wartawan di media bersangkutan wajib telah ber-UKW Dewan Pers.
Hal tersebut disampaikan salah seorang narasumber yang menerangkan bahwa Dinas Kominfo Kabupaten Mukomuko tidak bisa menerima media yang tidak terdaftar di Dewan Pers dan wartawan tidak bersertifikat UKW Dewan Pers.
Kebijakan yang diterapkan oleh Dinas Kominfo Kabupaten Mukomuko ini secara nyata mengangkangi UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang dibuat oleh DPR-RI.
Dalam UU Pers tersebut, tidak terdapat ketentuan, baik tertulis maupun tersirat, bahwa media harus terverifikasi dan wartawan wajib UKW lembaga non pemerintah itu.
Terkait informasi tersebut, Kepala Biro Kabupaten Mukomuko media online Infopengawaskorupsi.com, Hidayat Saleh, mengkonfirmasi ke Kadis Kominfo Kabupaten Mukomuko, Novria Eka Putra.
Oknum Kadis ini mengatakan bahwa benar perusahaan pers harus terdaftar di Dewan Pers, selain itu wartawan juga memiliki UKW, untuk berkerjasama di Kominfo Kabupaten Mukomuko.
“Dan mohon maaf, bila perusahaan Pers belum terverifikasi dan belum UKW kami belum bisa menerima untuk bekerjasama dengan Kominfo,” ujar Novria Eka Putra, Senin, 20 Maret 2023, di ruang kerjanya.
Padahal baru-baru ini majikan oknum Kadis Kominfo Mukomuko, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, sudah menganulir peraturan yang dikeluarkan pendahulunya. Ninik mengatakan bahwa perusahaan media tidak perlu lagi mendaftarkan ke Dewan Pers karena sudah ditutup.
“Pendaftaran media merupakan produk Undang Undang yang lama, sementara yang baru tidak menggunakan. UU Pers No. 40 tahun 1999 tidak mengenal lagi pendaftaran,” jelas Ninik.
“Sementara untuk Sertifikat UKW, menurut Dewan Pers sendiri itu tidak serta-merta dan harus, karena tidak ada aturan dalam Undang Undang Pers tentang kinerja wartawan,” ujar Pimpinan Redaksi media online Infopengawaskorupsi.com, Musrikin.
“Di UU Pers No 40 tahun 1999 tentang Pers khususnya di Bab lll Pasal 7 tentang kinerja wartawan, disitu diterangkan hanya ada dua poin, pertama wartawan bebas memilih organisasi, dan terakhir atau yang kedua wartawan mentaati kode etik jurnalis,” terangnya.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, patut diduga Kadis Kominfo Kabupaten Mukomuko tak paham UU Pers, sehingga tidak profesional dalam tugasnya. Bahkan, oknum Kadis Kominfo itu terkesan telah menjadi babu atau jongos Dewan Pers.
Dengan adanya berita ini, diharapkan Bupati Mukomuko tidak hanya berdiam diri melihat anak buahnya bekerja secara serampangan, tidak profesional.
Bupati harus memberikan teguran dan pembinaan kepada yang bersangkutan. Jika tidak bisa dibina, sebaiknya dibinasakan saja alias diberhentikan dari jabatannya, demikian intinya berita tersebut.
Terkait berita tersebut, lalu begaimana dengan aturan yang diberlakukan Diskominfo di Kalimantan Tengah?
Apakah sama ?
Atau setali tiga uang juga !
Petualang Jurnalis kali ini berharap semoga pemerintah di Kalimantan Tengah, melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) bisa mengerti dan bijaksana dalam menerapkan aturan yang tidak semestinya diterapkan kembalilah sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya.
Agar perusahaan media lokal yang ada di Kalteng tidak mati suri, bisa berkontrak, bisa menikmati dana belanja iklan dimaksud jangan jadi penonton di lapangan sendiri.
Harus juga jadi pemain biar pemilik perusahaan media dan wartawannya bisa hidup sejahtera.
Dalam istilah peribahasa “Jangan Sampai Tikus Itu Mati di Lumbung Padi” demikian Petualang Jurnalis mengakhiri, semoga jadi perhatian pihak terkait.