Perubahan tak bisa dikompromi lagi, karena Amandemen Konstitusi telah membuat kedaulatan rakyat semakin tergerus. Karena dominasi partai politik menjadi sangat besar. Sehingga perubahan mutlak dilakukan.
Perubahan itu tersimpulkan dalam diskusi bertema ‘Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan yang diselenggarakan ‘Komite Peduli Indonesia, Minggu (26/6/2022) di Bandung, Jawa Barat.
Sejumlah narasumber dihadirkan, di antaranya Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle Syahganda Nainggolan, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat.
Kemudian Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B) Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira dan Pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal Fadillah.
Ketua Komite Peduli Indonesia, Tito Roesbandi, mengatakan perubahan sudah tak bisa lagi dikompromikan. Sebab, katanya, kedaulatan harus ada di tangan rakyat.
“Bersama rakyat kita perjuangkan dan kita rebut kembali konstitusi yang dikudeta,” tukas aktivis tahun 70-an itu.
Tito bersyukur masih ada Lembaga Negara, dalam hal ini DPD RI, yang ikut memperjuangkan nasib rakyat. Ia mengajak agar seluruh rakyat ikut mendukung perjuangan DPD RI.
“Kita harus dukung DPD RI yang masih peduli dan menyuarakan kepentingan kita. Kita harus kembali rebut demokrasi dan konstitusi kita,” tegas Tito.
Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, tak menampik jika ada pengkhianatan terhadap demokrasi Indonesia.
“Problem pokok kita, demokrasi dikendalikan oligarki ekonomi dan oligarki politik. Mereka melakukan kejahatan konstitusional,” tutur Syahganda.
Hal itu berkaitan dengan Presidential Threshold 20 persen yang bertentangan dengan konstitusi. Dikatakannya, setiap orang berhak menjadi Presiden. Namun yang terjadi saat ini, melalui Presidential Threshold 20 persen ada upaya untuk menghalangi figur terbaik untuk masuk ke dalam pasar politik bersih.
“Itulah rusaknya demokrasi kita,” papar Syahganda.
Syahganda menilai problem lainnya adalah kemiskinan yang terus dipertahankan. “Mereka memang mempertahankan kemiskinan agar rakyat lemah, dan menjadi pekerja murah,” paparnya.
Jika demikian kondisinya, Syahganda menilai pertanyaannya adalah, apa guna Indonesia merdeka. “Kita ini merdeka bohong-bohongan, tak sesuai sila kelima Pancasila,” beber dia.
Saat ini, Syahganda menilai tengah berkejaran dengan waktu. Oleh karenanya Poros Perubahan harus segera dibangun. “Poros itu sentrum. Perubahan harus kita hitung. Harus ada yang mengukur perubahan, skalanya dan arahnya,” ucap Syahganda.
Dikatakannya, dari yang diketahuinya, DPD RI saat ini justru jauh lebih progresif ketimbang DPR RI. Di bawah pimpinan LaNyalla, DPD RI menjelma menjadi lembaga yang peduli dengan perjuangan dan nasib rakyat.
“Kita butuh tokoh besar yang membawa dan membimbing bangsa ini. Kita harus bersatu dalam konstitusi. Konstitusi harus dikembalikan untuk membuat kemakmuran dan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia,” tutur dia.
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira menegaskan jika tanggung jawab moral kita sebagai anak bangsa belum usai. Sebab, pasca Soeharto tahun 1998, mahasiswa kembali ke kampus untuk menyelesaikan studinya.
“Kekosongan kekuasaan saat itu diisi oleh para kucing garong. Sekarang, kita lagi yang harus membenahinya. Artinya, tanggung jawab kita belum selesai,” tutur dia.
Hari ini, faktanya rakyat seperti penumpang di negeri ini. Sentralisasi yang terjadi menjauhkan dari partisipasi sebagai syarat sebuah demokrasi. “Kita harus back to basic. Untuk apa Republik ini didirikan,” katanya.
Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B) Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman mengatakan, saat ini kita dihadapkan pada penjajahan oligarki dan komunisme. Sementara TNI sebagai penjaga negeri dikebiri perannya. “TNI saat ini menunggu keputusan politik dalam bertindak. Padahal dulu, NKRI merdeka karena perjuangan bersama,” tutur dia.
Saat ini, ada banyak pihak yang ingin mengubah Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila. “Tujuan nasional sulit tercapai kalau kita dibajak seperti ini,” katanya.
Oleh karenanya, harus ada pembenahan dari awal dan fundamental. Silaturahmi nasional harus dibangun. Semua lintas elemen harus dipersatukan. “Alam pikiran kita harus diluruskan untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli dan Pancasila. Sasarannya apa, memutus hubungan oligarki dan neo-komunisme,” tegas Deddy.
Sekretaris Jenderal Syarikat Islam, Ferry Joko Juliantono menyatakan hal serupa. Menurutnya, UUD 1945 sudah dikecilkan, utamanya di pasal ekonomi. “Ada empat ayat. Semuanya jelas memperlihatkan ekonomi kita disusun bukan seperti sekarang, kekayaan negara bukan diatur seperti sekarang dan seterusnya. Ada pula pasal masuknya liberalisasi dan korporasi swasta menjadi pemain paling besar dan dominan dibanding BUMN dan koperasi,” imbuh Ferry.
Di sisi lain, aset bangsa ini dikuasai oleh segelintir orang. Sedangkan kemiskinan terus meningkat. Pun halnya dengan utang negara yang terus bertambah. “Terjadi de-industrialisasi. Kita jadi negara importir yang paling besar, bukan hanya produk mentah, setengah jadi dan bahan jadi. Bagaimana mungkin kita mau membangun industri kalau kita impor. Kita sedang membual bicara pertumbuhan ekonomi,” tutur Ferry.
Dalam kondisi saat ini, Ferry menyebut kita tak hanya sedang berhadapan dengan penguasa, tetapi juga dengan yang mengatur penguasa. “Kita harus memperkuat diri dan lebih hebat lagi untuk bersama bersatu. Kekuatan rakyat adalah kekuatan massa,” urai Ferry.
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat menegaskan, saat ini seluruh lapisan pekerja mulai dari pekerja kerah putih dan biru bersatu padu dengan pekerja pada umumnya karena dirugikan oleh UU Omnibus Law. “Kenapa UU Jahat ini bisa lahir? UU Omnibus Law ini untuk melayani investor. Untuk membayar hutang kepada oligarki, untuk membiayai politik mereka,” papar Jumhur.
Jumhur tak mempersoalkan penguasa meminta dan mengemis pada oligarki. “Tapi jangan mengorbankan rakyat. MK sudah mengatakan UU Omnibus Law in-konstitusional. Kok dibiarkan. Artinya, ada kejahatan dua tahun. Kami berkomitmen tetap menuntut UU Omnibus Law dicabut,” pinta Jumhur.
Sementara Pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal Fadillah menegaskan jika dahulu ada istilah raja tak pernah salah, maka saat ini yang terjadi adalah raja menjadi sumber masalah. “Solusinya adalah perubahan. Berhenti sampai sini, cukup Pak Jokowi. Kita tak boleh bertele-tele, rakyat harus bergerak. Ini konstitusional,” ajak Rizal.
Soal Presidential Threshold, Rizal menilai tak boleh ada lagi penetapan angka 20 persen. “Itu kepentingan oligarki, itu kejahatan politik dan harus dihentikan,” pinta Rizal.(*)
Sumber: BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA
www.lanyallacenter.id