Ribuan Petani Karet di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) saat ini dilanda krisis, sebagaimana yang disampaikan Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD Kotim Syahbana, Selasa (21/9/2021).
Menurut Dia, Ribuan petani karet dalam sebulan terakhir harus menderita. Pasalnya, mereka dilanda krisis karena tak bisa bekerja normal menyadap karet di kebun lantaran tingginya curah hujan.
”Sudah hampir sebulan lebih ini warga yang bekerja di sektor perkebunan karet tidak bisa bekerja. Kondisi demikian tentunya sangat memprihatinkan,” kata Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD Kotim Syahbana, Selasa (21/9/2021).
Syahbana menuturkan, petani tidak bisa menyadap atau mengambil getah dari pohon karet ketika musim hujan. Selain itu, kalangan petani beranggapan apabila dipaksakan menyadap karet di musim hujan, akan merusak pohon karet tersebut.
Sejauh ini, lanjut Dia, petani karet sudah bersyukur bisa bertahan hidup dengan kondisi seadanya. Bagi yang masih memiliki kebun rotan, bisa bertahan dengan harga yang masih ideal untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
”Yang pasti, saat ini kondisi sedang terpuruk adalah petani karet. Kasihan sebenarnya melihat kondisi mereka demikian. Karena hujan terus menerus, mereka tidak bisa berusaha,” jelas Dia.
Dari asumsinya, ada sekitar 10 ribu penduduk di Kotim masih bergantung kepada sektor perkebunan karet ini. Harga karet masih jauh dari kata ideal. Satu kilogram dihargai Rp8.000. Dalam satu hari, petani maksimal panen hanya 20 kilogram.
Penyadapan karet dilakukan sejak subuh hingga menjelang sore. Harga ideal di kalangan petani minimal sekitar Rp12 ribu per kilogram untuk mengimbangi harga kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Belum lagi soal pemasaran yang hanya ada satu pabrik penerima di Kota Sampit, yakni PT Sampit International.
Sarwino, salah seorang petani karet mengatakan, sejak Agustus mereka sudah tidak bisa menyadap karet karena hujan turun nyaris setiap hari. Untuk menyiasatinya, mereka kadang menyadap pohon karet di sore atau siang. Meskipun saat itu kondisi karetnya tidak sebanyak saat panen pagi hari.
”Tidak bisa bekerja sudah lama. Saat kami masih menyadap, tiba-tiba hujan turun. Sadapan sebelumnya akan hilang kena air hujan. Lain ceritanya kalau ada payung penutup di setiap pohon,” ujar Dia.
Dia menambahkan, untuk bertahan hidup, mereka kadang menjadi buruh panen kelapa sawit yang dibayar per hari. Dalam sehari, dia mendapat upah tak lebih dari Rp100 ribu. Namun, itu bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. ”Sementara ini bertahan dulu dengan kondisi hujan seperti ini,” jelasnya.
Jauh sebelumnya, petani karet sempat diresahkan dengan keberadaan maling. Pencuri karet rela masuk ke dalam hutan untuk memanen karet mereka yang sudah dibekukan dalam wadahnya.
”Sering juga teman-teman kehilangan karetnya yang sudah siap jual dan tinggal diambil dari wadahnya,” tukas Dia.
[*to-65].