PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) merupakan program untuk membantu pekebun rakyat memperbaharui perkebunan kelapa sawit mereka dengan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan berkualitas, dan mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal.
(Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan -LULUCF). Melalui PSR, produktivitas lahan milik pekebun rakyat bisa ditingkatkan tanpa melalui pembukaan lahan baru.
Namun tak seperti program PSR di desa Kampung Melayu Kecamatan Mendawai Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah. Karena, lahan yang digunakan untuk peremajaan kelapa sawit, tidak sesuai dengan Undang-undang dan peraturan pemerintah.
Artinya, bukan peremajaan dan tanaman yang kurang produktif, tua atau rusak. Akan tetapi dilakukan penggarapan lahan baru milik warga yang masih bersengketa, diduga PSR ini bermasalah.

Bocornya dugaan PSR bermasalah ini, diungkapkan oleh seorang warga Mendawai bernama Muhammad Yusuf, tanah serta kebun rotan miliknya, digarap lebih dari puluhan hektar tanpa diganti rugi serupiah pun.
M Yusup mengetahui tanahnya digarap berawal dari informasi keluarganya, setelah mendapat informasi. Ia kaget, dan langsung ke lokasi melihat lahannya ternyata sebagian sudah tergarap, saat alat berat melakukan penggarapan. Ia mengambil langkah untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Yusup menambahkan, untuk dokumen PSR mereka mengambil foto kebun sawit di Desa Hantipan Kecamatan Pulau Hanaut Kabupaten Kotawaringin Timur. Sedangakan di desa Kampung Melayu tidak ada sawit yang diremajakan, yang ada lahan/hutan baru digusur/digarap.
Tak hanya lahan saja yang bersengketa, juga terdapat ada dugaan pemalsuan surat-surat berharga.
Senin (8/3/2021), Markasi warga desa Kampung Melayu mengemukakan kepada IndeksNews.com, dengan kasus yang berbeda, tanah miliknya masuk dalam arel PSR tanpa sepengetahun dirinya.
Markasi mengaku, sertifikat tanah yang asli miliknya masih ditangan. “Saya bingung, dan menjadi tanda tanya, kenapa program PSR bisa lolos, dari mana mereka bisa membuat legalitas tanah itu,” ujarnya.
Anehnya, masuk dalam daftar kelompok tani Melayu Mandiri tapi tidak memilki tanah.
“Saya tergabung di kelompok tani Melayu Mandiri menjadi anggota, jujur saya engga punya tanah dan tidak memilki surat-surat. Yang memiliki surat tanah dan lahan, ko, engga dapat PSR,” ungkap nara sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Yanto alias Ayus, ketika dikonfirmasi melalui sambungan Handphone beberapa hari yang lalu membenarkan adanya PSR dan mengaku sebagai ketua kelompok tani Melayu Mandiri sekaligus pemborong.
Ayus mengatakan, M Yusup tidak memiliki tanah dan sudah dijual kepada warga Kampung Melayu, yang mengurus administrasi surat-surat tanah itu Kepala desa (Kades), tanpa Kades. Yang mengeluarkan surat tanah tidak mungkin program PSR ini jadi.
1 hektarnya Rp 30 juta, tetapi tidak berbentuk uang hanya berupa barang, seperti bibit sawit, pupuk dan lainnya. Warga yang memiliki lahan lebih dari 4 hektar itu biaya sendiri,” jelas Ayus.
Ayus meminta kepada wartawan jangan memberitakan yang miring-miring. Supaya tidak menimbulkan gejolak.
“Saya juga mengerti politik wartawan ini Pak, saya pernah gabung jadi wartawan tiga tahun, dan saya juga LSM,” ujar Ayus.
Menurut Ayus, program PSR yang dilaksanakannya melalui kelompok tani Melayu Mandiri sudah sesuai aturan yang baru,” ujarnya.
Berita ini diterbitkan, pemerintah Kabupaten Katingan dinas pertanian, pangan dan perikanan belum dikonfirmasi.
(Anekaria Safari/INK)


