Pemerintah yang akan mengaudit PBS Plasma 20%, harusnya didasari kajian dan konsef yang jelas.
Jika Audit tidak didasari kajian dan konsef yang jelas hasilnya akan carut marut. sebagaimana yang disampaikan MUHAMMAD GUMARANG, Pengamat Sosial dan Politik di Kalteng, Selasa 7 Juni 2022.
Menurut Gumarang, Setelah diterpa badai kelangkaan minyak goreng dan anjloknya harga buah sawit (TBS) khususnya bagi petani sawit karena adanya larangan ekspor CPO dan produk turunan oleh pemerintah pusat untuk tujuan menstabilkan harga dan distribusi minyak goreng dipasaran.
Ternyata 3 kali perubahan kebijakan dengan maksud yang sama, pertama dikenal dengan kebijakan Permendag tentang DMO dan DPO dengan mewajibkan eksportir CPO 20% dari jumlah ekspor untuk kebutuhan industri minyak goreng.
Kemudian kedua kebijakan dirubah menjadi 30% dan juga tak mengalami perubahan.
Ketiga dikeluarkan lagi kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, namun ternyata tak juga mengubah keadaan.
Seperti harga minyak curah dipasaran tetap diatas HET, padahal pelaku kejahatan korupsi melakukan ekspor illegal minyak goreng sudah terungkap pelakunya walaupun masih tak menutup kemungkinan ada pelaku lagi yang akan menyusul.
Akibat larangan ekspor dan produk turunannya berakibat anjloknya buah sawit berdampak langsung terhadap petani sawit, sehingga menimbulkan demo protes besar besaran dari petani sawit hampir seluruh Indonesia.
Menyikapi protes tersebut, pemerintah kemudian mencabut larangan ekspor CPO dan turunannya dengan alasan juga kesediaan pasokan untuk bahan baku minyak goreng sudah normal.
Namun sayang harga minyak goreng baik yang bersubsidi yaitu minyak curah dengan dipatok pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter ternyata dipasaran berkisar Rp16.000 per liter bahkan lebih.
Begitu juga harga minyak goreng kemasan juga tidak sesuai dengan ekspektasi rata-rata berkisar Rp25.000 per liter di pasaran.
Hal ini menggambarkan masyarakat kecil khususnya belum terpenuhi secara maksimal, artinya kebijakan tersebut dapat dinilai tidak tepat.
Pemerintah Pusat tak pernah surut dan bosan dengan menerbitkan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut, yaitu mengeluarkan kebijakan baru untuk mengaudit semua PBS perkebunan kelapa sawit.
Terutama yg mengangkut luasan perijinan (HGU) dan pengelolaan serta pelaksanaan terhadap plasma 20%, kemudian Jokowi memerintahkan Menteri Kordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Penjaitan.
Sosok menteri yang dikenal oleh publik dengan istilah menteri piawai segala urusan dan dikenal juga menteri sangat dekat dengan Presiden Jokowi ini.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut diterapkan sampai ke daerah daerah, termasuk Provinsi Kalimantan tengah yang memiliki luasan lahan lebih 2 Juta hektar terbesar di Indonesia bersaing dengan Provinsi Riau.
Khususnya kebijakan yang menyangkut mengaudit PBS terhadap pelaksanaan plasma 20% untuk tujuan agar semua PBS diwajib menyerahkan kebun 20% dari total luasan ijin yang dimiliki PBS.
Sebagaimana mengacu kepada Permentan nomor 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perijinan Usaha Perkebunan, dinilai akan terancam gagal. Karena tidak didasari, dibarengi berdasarkan kajian dan konsep yang jelas.
Dilain sisi lagi bahwa secara aspek hukum Permentan nomor 26 tahun 2007 tidak bisa berlaku surut, jadi harus ada solusi. Namun bagi PBS yang perijinannya sejak tahun 2007 efektif dan berkewajiban melaksanakan plasma 20% dari luasan ijin PBS.
Sebagai renungan sebenarnya sudah banyak PBS yang melaksanakan plasma 20%, namun faktanya tak sedikit yang gagal tak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan salah satu kasus banyak kartu plasma dijual kepada masyarakat yang status ekonomi tak layak memilikinya, bahkan lebih ironisnya lagi kartu plasma dijual dengan masyarakat diluar daerah dan ini marak sekali.
Belum lagi masalah lainnya yang menimbulkan kegagalan dalam pelaksanaan plasma yang dialami masyarakat dan PBS selama ini,
Seharusnya menjadi bahan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang strategis, populis dan efektif dalam pelaksanaanya dan berdaya guna hasilnya bagi masyarakat pemegang plasma khususnya terhadap peningkatan tarap hidup masyarakat plasma.
Jadi suatu kebijakan tidak didasari kajian dan konsep yang jelas akan berpotensi gagal alias carut marut, sebagaimana fakta dialami masyarakat yg sudah dan/atau pernah mendapatkan plasna dari pbs selama ini.
Disarankan janganlah terburu buru melaksanakan kebijakan yang tidak didasari oleh kajian dan konsep yang jelas. Ini dikhawatirkan adanya menimbulkan bonjengan.
Hal hal lain yang tidak diinginan yang berujung masyarakat yang menjadi korban karena tujuan yang mulia tidak tercapai malah tujuan yang lain diraih,
Seperti kejadian kasus pidana korupsi ekspor minyak goreng illegal, apa lagi tahun sekarang sudah mulai memasuki genderang Pemilu yang rentan terhadap hal hal yang tidak diinginkan, misalnya penyalah gunakan kewenangan (abuse of power).